Selasa, 17 Juli 2012

Masalah Ketenagakerjaan

Bekerja di perusahaan bertaraf multinasional mungkin menjadi harapan sebagian orang untuk mendapat penghasilan yang layak. Sayangnya, hal itu tidak selalu seperti yang diharapkan. Misalnya, nasib empat pekerja perempuan di hotel Grand Hyatt Jakarta yaitu Rita Hartati dan tiga rekannya. Keempat perempuan yang bekerja di toko bunga milik hotel Grand Hyatt itu diputus hubungan kerjanya (PHK) tanpa melewati proses pengadilan pada 17 April 2012.

Merasa mendapat perlakuan yang tak adil, dengan dibantu Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), Rita dkk mengadu ke Komnas Perempuan. Mendengar keluhan Rita dkk, Komnas Perempuan melayangkan surat kepada manajemen hotel pada 31 Mei 2012. Tak lama kemudian pihak manajemen di hotel yang bernaung di bawah PT Plaza Indonesia Realty Tbk itu membalas surat Komnas Perempuan.

Sekretaris Regional Jabotabek FSPM, Dewi Fitriana mengatakan surat balasan manajemen pada intinya menyebut bahwa Komnas Perempuan diharap tidak mengintervensi kebijakan yang diterbitkan manajemen. Usai mendapat surat dari Komisi Perempuan, pihak manajemen menerbitkan surat skorsing untuk Rita dkk.

Menurut Dewi penerbitan surat skorsing itu tidak mengikuti mekanisme yang ada dalam hukum ketenagakerjaan, karena Rita dkk sebelumnya telah di-PHK dan perusahaan telah menerbitkan surat PHK secara sepihak. Dalam surat balasan manajemen ke Komnas Perempuan itu, Dewi tidak melihat kalau manajemen meralat surat PHK yang sudah diterbitkan.

Umumnya, ketika perundingan perselisihan antara pekerja dan manajemen sudah tak ada titik temu maka perusahaan menerbitkan skorsing. Kemudian dapat masuk ke proses PHK. Namun hal itu menurut Dewi tidak terjadi pada kasus Rita dkk.

“Tapi ini surat PHK dulu, baru kemudian surat skorsing diterbitkan setelah Komnas Perempuan mengirim surat ke manajemen,” kata Dewi kepada wartawan dalam jumpa pers di gedung Komnas Perempuan Jakarta, Senin (18/6).

Dalam kesempatan yang sama, Rita mengatakan dia dan tiga rekannya yang di-PHK sudah bekerja di hotel Hyatt Jakarta sejak hotel itu pertama kali beroperasi. Selama bekerja di toko bunga, Rita dan rekannya melakukan pekerjaan merangkai bunga, melayani pembeli dan bertugas sebagai kasir. Bahkan jika pekerjaan sedang ramai, dia belum dapat pulang walau sudah bekerja lebih dari delapan jam pada hari itu. “Dari pagi sampai sore, 12 jam,” beber Rita.

Ironisnya, Rita dkk merasa ada hak lembur mereka yang sampai hari ini belum dibayar. Selain itu, sejak diterbitkannya surat PHK, mereka tidak boleh menginjakan kaki ke hotel Hyatt walau hanya berkunjung ke sekretariat serikat pekerja yang lokasinya berada dalam lingkungan hotel Hyatt.

Rita menjelaskan, walau toko bunga di hotel Grand Hyatt Jakarta sudah ditutup, tapi produksinya masih berlanjut. Sampai saat ini hotel Grand Hyatt masih menerima pesanan dari pelanggan. Rita dkk mengaku tidak keberatan jika mereka dipindah ke divisi lain. Sayangnya, permintaan itu tidak dapat dipenuhi. “Kamu sudah tidak dibutuhkan lagi,” kata Rita mengulang kembali jawaban pihak manajemen.

Rita heran, kenapa hanya dirinya dan rekannya yang di-PHK. Sedangkan beberapa rekan lainnya, termasuk manajer outlet toko bunga, masih dapat bekerja seperti biasa. Kebetulan mereka berjenis kelamin pria. Melihat fakta itu Rita dkk merasa ada diskriminasi yang dilakukan pihak manajemen.

Tak lama setelah di-PHK, Rita melihat perusahaan merekrut pekerja harian lepas dan kontrak. Melihat fakta itu Rita dkk berasumsi bahwa PHK yang dijatuhkan kepada mereka hanya untuk mengganti posisinya dengan pekerja harian lepas. Pasalnya, selain pekerja tetap, Rita melihat cukup banyak pekerja magang, harian dan kontrak.



Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fdf44156f775/hotel-hyatt-terlilit-kasus-ketenagakerjaan


Kesimpulannya: Menurut saya, Rita dkk mengalami ketidakadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar